Senin, 22 April 2013

KEGIATAN MP-PBB DALAM RANGKA HUT KE-2


Masyarakat Peduli Perkampungan Budaya Betawi (MP-PBB) yang didirikan pada tanggal 17 Mei 2011 adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berkomitmen menjadi mitra Lembaga Pengelola Perkampungan Budaya Betawi (LP-PBB) dan Pemda DKI Jakarta untuk membantu mewujudkan Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan di Jakarta Selatan.


Dalam upaya meningkatkan eksistensi dan aktualisasi MP-PBB dalam mewujudkan peranannya sebagai salah satu LSM yang peduli dengan PBB Setu Babakan dan mempererat tali silaturahmi sesama pengurus dan anggota serta memperkenalkan MP-PBB kepada masyarakat, maka:


MP-PBB akan mengadakan kegiatan dalam rangka memperingati  HUT ke-2-nya  di area PBB Setu Babakan pada Minggu tanggal 19 Mei 2013, pukul  9.00-12.00 WIB.


Kegiatan yang akan dilakukan berupa syukuran bersama, pemberian santunan sembako kepada masyarakat kurang mampu dan anak yatim/piatu di sekitar kawasan PBB, dan pembagian stiker MP-PBB.

Panitia.

Kamis, 18 April 2013

PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI; SUATU TINJAUAN SELINTAS KILAS


                                                                                        
.       1. Latar Belakang
Perkampungan Budaya Betawi (PBB) merupakan area perkampungan di bilangan Jakarta Selatan dengan mayoritas penduduk etnik Betawi lengkap beserta pernak-perniknya. 

Kawasan ini terletak di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa dengan luas kurang lebih 289 hektare.

Sebagai suatu kawasan wisata budaya yang dilengkapi dengan wisata agro dan wisata air, menjadikan PBB ini memiliki keunikan tersendiri dan potensi luar biasa untuk dikembangkan mengingat lingkungan alamnya yang masih asri – dengan dua buah setu alam: Setu Babakan dan Setu Mangga Bolong – yang dalam kondisi kekinian semakin sulit ataupun jarang dijumpai ditengah belantara hutan beton Jakarta.  

Kehadirannya ditengah hiruk pikuk kota Jakarta kian terasa istimewa, karena perkampungan ini memiliki beragam fungsi yang tidak saja sebagai sarana pariwisata, juga sebagai sarana seni & budaya, informasi serta penelitian.

Berdasarkan Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta no.92 Tahun 2000 Tentang Penataan Lingkungan Perkampungan Budaya Betawi Di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan, kawasan ini merupakan wilayah pelestarian alam lingkungan ekosistem serta seni budaya tradisional masyarakat Betawi dengan tidak menghambat perkembangan warganya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. 

Suatu hal yang wajar jika Pemerintah Provinsi dengan melihat segenap potensi ini kemudian mengambil langkah lanjutan untuk pengelolaan kawasan. Melalui Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus  Ibukota Jakarta no.129 Tahun 2007 dibentuklah Lembaga Pengelola Perkampungan Budaya Betawi dengan struktur organisasi yang dipimpin oleh seorang Ketua dibantu dengan 4 Komite (masing-masing Komite beranggotakan 3 orang), yaitu:
·         Komite Tata Kehidupan dan Budaya
·         Komite Kesenian & Pemasaran
·         Komite Pengkajian, Pelatihan & Pendidikan
·         Komite Pengawasan & Pengendalian
dengan masa tugas 4 tahun dan diberikan honorarium yang besarannya ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. 

Mereka bekerja mengelola kawasan yang cukup luas tanpa pegawai. Sedangkan belanja pelaksanaan tugas, fungsi dan kegiatan Lembaga Pengelola dibiayai dari:
-          APBD (yang dialokasikan pada DPA Dinas)
-          Bantuan atau sumbangan swasta, perorangan dan 
            masyarakat

b.      Menggapai Mimpi

Pernah ada di suatu masa, gagasan yang kemudian diwujudkan melalui strategi pembangunan di DKI yang dilakukan agar masyarakat Betawi dapat berkembang dan maju dengan derap langkah yang sama dengan masyarakat lain di Indonesia. Salah satunya adalah membina masyarakat Betawi melalui  Pelestarian Budaya. 

    Sudah barangtentu upaya untuk mempertahankan dan mengangkat harkat budaya Betawi ke pentas dunia sekalipun adalah upaya yang baik. Namun sayangnya strategi pembinaan masyarakat Betawi dengan pelestarian melalui pemukiman di suatu daerah tertentu (Condet, sebagai cagar budaya Betawi) agaknya kurang tepat. Pelestarian seperti itu – semacam wilayah konservasi – mengingatkan kita akan wilayah yang kurang lebih sama di Amerika untuk suku Indian.

Jika dilihat dari perspektif pembangunan daerah, dengan derasnya laju pembangunan dan modernisasi membawa dampak tergusurnya sejumlah pemukiman masyarakat Betawi kearah pinggiran Ibu Kota. Dalam kurun waktu ke depan, cepat atau lambat dapat dipastikan sulit ditemukan lagi adanya kampung etnik Betawi, baik di Jakarta ataupun daerah sekitarnya. Begitu pula dengan masyarakat beserta budaya yang menyertainya, mereka akan tercerabut dari akar kehidupan dan penghidupannya.

Dari sisi tata kelola pemerintahan, bila pembinaan dan pengelolaan Perkampungan Budaya Betawi dilakukan dengan pendekatan ekonomis semata (APBD) dan birokratis seperti sekarang ini, niscaya ia akan kehilangan ruhnya.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, akankah sejarah ini akan terulang kembali dan masyarakat Betawi beserta budayanya akan menjadi sekadar komoditas ?. Ataukah Perkampungan Budaya Betawi dapat berperan sebagai “palang pintu” terakhir bagi eksistensi masyarakat Betawi ?

        2. Pokok Masalah

Saat ini modal yang dimiliki PBB khususnya di area Setu Babakan hanya terdiri dari 4 bangunan berarsitektur betawi, 1 mushola, 1 bangunan untuk pentas seni plus ruang terbuka yang berdiri diatas lahan seluas kurang lebih 1000 m2. Dua bangunan yang ada merupakan asset Pemprov DKI Jakarta, sedangkan dua bangunan lainnya disewa dari penduduk asli.  

Minimnya biaya pemeliharaan  (maintenance cost) membuat bangunan-bangunan tadi terkesan kusam dan kurang terawat. Tidak tersedianya sarana perkantoran, ditambah lagi dengan tidak dimungkinkannya penggunaan pegawai honor, membuat Pengelola pontang panting dalam  mengelola kawasan yang luas ini. 

Belum lagi berbicara tentang besarnya honorarium yang diterima Pengelola yang dibawah UMR. 

Kendala lainnya, dalam waktu dekat terdengar selentingan kabar bahwa arena pentas/panggung teater terbuka oleh pemiliknya akan dijual kepada pihak ketiga karena pertimbangan ekonomi dengan harga pasar yang bisa jadi tidak terbeli dengan dana APBD karena terbentur aturan pengadaan barang dan jas bagi pemerintah. 

Kendati arena pentas/panggung teater terbuka hanyalah merupakan sebagian kecil lahan di Setu Babakan, tetapi itu merupakan enclave yang menjadi denyut nadi kegiatan berkesenian, yang akan terganggu  bila tidak ditangani dengan baik. Begitu pula halnya dengan masalah birokrasi perijinan untuk dapat terselenggaranya sebuah pertunjukan seni.

Mencermati kondisi sekarang ini, secara ringkas dapat dikatakan kendala-kendala yang ada untuk pengembangan kedepan paling tidak meliputi beberapa aspek, antara lain :
a.      Aspek Legalitas
b.      Aspek Management
c.      Aspek Sumber Daya Manusia
d.      Aspek Keuangan
e.      Aspek Pemasaran

         3. Alternatif Solusi 

Dalam  mengelolaan PBB – yang notabene sedikit banyaknya telah menyerap APBD Pemprov DKI Jakarta – tentunya  Pemprov DKI Jakarta tidak akan membiarkan anggaran yang keluar tanpa kendali. Usulan yang tengah digodok berupa pembentukan Unit Pelayanan Teknis (UPT) tentunya menjadi pilihan guna mengendalikan pemakaian anggaran yang dikeluarkan. 

Apabila hal ini terwujud, boleh jadi pengelolaan kawasan Perkampungan Budaya Betawi yang hanya melihat dari aspek ekonomi semata akan membuat kawasan ini kehilangan ruhnya.
Untuk menjembatani hal tersebut diatas, kiranya perlu dikaji model pengelolaan PBB seperti konsep kegiatan seminar dengan menggunakan pola Komisi Organisasi dan Komisi Pengarah. 

Komisi Organisasi merupakan badan yang berfungsi administrative dan dapat diisi oleh unsur PNS dibawah Pemda DKI yang nantinya berperan sebagai pengatur anggaran sesuai kebutuhan sistem anggaran di pemerintahan. Sedangkan Komisi Pengarah adalah badan yang berfungsi sebagai pelaksana dan pengendali mutu proses pembinaan, pelestarian dan etalase budaya Betawi. Kedua badan ini merupakan badan yang semua aktifitasnya ditanggung secara finansial oleh Pemprov DKI Jakarta.

Selanjutnya, yang perlu diperhatikan adalah bahwa berdasarkan Perda 3/2005 dalam pasal 11 dinyatakan untuk mengelola PBB dibentuk suatu Lembaga yang terdiri dari unsur masyarakat dan instansi dilingkungan Pemda DKI. Berangkat dari sini, sebagai pemilik budaya, sudah sepatutnya bila kewenangan pengelolaan Perkampungan Budaya Betawi diserahkan kepada Lembaga Kebetawian/orang betawi karena merekalah yang lebih mengerti tentang kebudayaan dan kebutuhan budayanya sendiri.

            4. Konsep Pengembangan kedepan
Paling tidak, ada 6 bidang yang bisa digarap dengan sungguh-sungguh.

a.     Bidang Lingkungan Hidup
        PBB dapat menjadi alternative bagi Pemprov DKI Jakarta untuk menjadi daerah hijau/Green Life dengan program pengelolaan sampah, water treatment, pembangkit listrik dan lain-lain.

b.     Bidang Seni &Budaya
-  Membuat acara-acara rutin mingguan di teater panggung terbuka
-  Membuat kegiatan tahunan dengan mengangkat tema kebetawian berupa pameran, bazaar,  lomba seni dan lain sebagainya.

    c.      Bidang Komersil
-   Menyewakan lahan untuk kegiatan outbound, guest house untuk peristirahatan, pesta pernikahan, perpisahan sekolah.
-   Meningkatkan potensi wisata budaya, wisata agro dan wisata air

    d.      Bidang IT dan Promosi
-   Membuat website tentang Perkampungan Budaya Betawi yang professional, informative dan edukatif.
-   Membangun jaringan internet/WiFi di lingkungan PBB

    e.      Bidang Pendidikan dan pelatihan
-   Menyelenggarakan kursus-kursus tari, musik, masak.
-   Menyelenggarakan workshop, pelatihan wira usaha kuliner, kerajinan.

    f.      Bidang Penelitian/riset
-   Menjalin kerja sama dengan institusi perguruan tinggi.

            5. Penutup

Sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa, budaya Betawi jelas harus dipelihara. Konstitusi Negara yang termaktub didalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 32 ayat (2) secara jelas mengamanahkan negara untuk wajib memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan budayanya. 

Dalam skala nasional, hal yang sama juga dilakukan oleh Pemerintah Daerah kepada kelompok masyarakat yang perlu diprioritaskan di daerahnya masing-masing. Ada pemerintah daerah yang perlu melakukannya melalui strategi pembinaan sektor pertanian, pariwisata, kerajinan atau pembangunan proyek pionir lainnya. Secara singkat dapat dikatakan, tiap kelompok masyarakat dan daerah membutuhkan perlakuan sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kesanggupan daerahnya.

Kita punya tokoh-tokoh betawi baik di pemerintahan maupun disektor kehidupan lainnya, juga punya beberapa  lembaga kebetawian. Sekarang masalahnya adalah, tergugahkah kita sebagai bagian dari masyarakat betawi untuk menjaga, memelihara dan mengembangkan kekayaan budaya ini, di sini, ditanah leluhurnya sendiri. Sungguh suatu pertanyaan yang menarik untuk disimak perkembangannya. (Dirangkum dari berbagai sumber/nf)

PROFIL MP-PBB



Berawal dari diskusi informal pada medio Februari 2011 di Setu Babakan dengan beberapa orang tokoh Betawi dari  Lembaga Pengelola Perkampungan Budaya Betawi serta beberapa orang yang pernah berkecimpung dalam  kegiatan organisasi Keluarga Mahasiswa Betawi, tergugah suatu kesadaran tentang pentingnya arti eksistensi budaya Betawi yang terefleksikan dalam sebuah Perkampungan Budaya Betawi (PBB) yang meliputi area Setu Babakan dan Mangga Bolong dengan luas kurang lebih 289 hektare (ha) di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Betapa tidak, sebagai kawasan wisata budaya yang dilengkapi dengan wisata agro dan wisata air, menjadikan Perkampungan Budaya Betawi ini memiliki keunikan tersendiri dan potensi luar biasa untuk dikembangkan mengingat lingkungan alamnya masih relatif asri yang dalam kondisi kekinian semakin sulit ataupun jarang dijumpai ditengah belantara hutan beton Jakarta.

Kehadirannya ditengah hiruk- pikuk kota Jakarta kian terasa istimewa, karena Perkampungan Budaya Betawi ini memiliki beragam fungsi yang tidak saja sebagai sarana pariwisata, akan tetapi juga diharapkan sebagai sarana seni & budaya, informasi serta penelitian/riset.

Sebagai kawasan wisata budaya yang telah berusia 12 tahun (berdasarkan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta no. 92 tahun 2000 Tentang Penataan Lingkungan Perkampungan Budaya Betawi), perkembangan yang terjadi masih di luar harapan. 

Kendati Gubernur telah membentuk Lembaga Pengelola-Perkampungan Budaya Betawi melalui Peraturan Gubernur DKI Jakarta , namun kewenangan yang dimiliki oleh Lembaga untuk mengelola dan menata kawasan masih serba terbatas seiring dengan tumpang tindih dan banyaknya pemangku kepentingan baik diinternal Pemda maupun instansi terkait. Belum lagi masalah perluasan lahan untuk kegiatan berkesenian, akses jalan dan perparkiran yang tidak memadai serta infrastruktur lainnya.

Berangkat dari pemikiran ini, muncul gagasan untuk membentuk suatu forum yang nantinya diharapkan berfungsi sebagai mitra Lembaga Pengelola, mitra Pemprov DKI serta instansi terkait lainnya dalam upaya untukmelestarikan budaya betawi dan lingkungan hidup yang asri.

Pada 17 Mei 2011, dengan didukung oleh tokoh-tokoh betawi yang  concern bertempat di Setu Babakan, dideklarasikan berdirinya suatu wadah yang diberi nama: Masyarakat Peduli-Perkampungan Budaya Betawi. Dalam perjalanannya, wadah ini kemudian menjelma menjadi LSM Masyarakat Peduli Perkampungan Budaya Betawi (MP-PBB) dengan akta notaris no.4 tahun 2011. 

Azas, Sifat,Visi& Misi MP-PBB:

Azas : Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
Sifat : Profesional dan tidak berafiliasi kepada golongan dan kekuatan politik yang ada.
Visi : Menjadi lembaga yang handal untuk meningkatkan harkat martabat yang luhur masyarakat Betawi
Misi : Sebagai Lembaga Kemitraan yang profesional didalam pelestarian, pembinaan dan Pengembangan Perkampungan Budaya Betawi dalam kerangka memperkaya khazanah Budaya bangsa.(nf)