. 1. Latar Belakang
Perkampungan Budaya Betawi (PBB) merupakan area perkampungan di bilangan Jakarta Selatan dengan
mayoritas penduduk etnik Betawi lengkap beserta pernak-perniknya.
Kawasan ini
terletak di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa dengan luas kurang lebih
289 hektare.
Sebagai suatu kawasan wisata budaya yang dilengkapi dengan wisata agro
dan wisata air, menjadikan PBB ini memiliki keunikan
tersendiri dan potensi luar biasa untuk dikembangkan mengingat lingkungan
alamnya yang masih asri – dengan dua buah setu alam: Setu Babakan dan Setu
Mangga Bolong – yang dalam kondisi kekinian semakin sulit ataupun jarang
dijumpai ditengah belantara hutan beton Jakarta.
Kehadirannya ditengah hiruk pikuk kota
Jakarta kian terasa istimewa, karena perkampungan ini memiliki beragam fungsi
yang tidak saja sebagai sarana
pariwisata, juga sebagai sarana seni & budaya, informasi serta penelitian.
Berdasarkan
Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta no.92 Tahun 2000
Tentang Penataan Lingkungan Perkampungan Budaya Betawi Di Kelurahan Srengseng
Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan, kawasan ini merupakan
wilayah pelestarian alam lingkungan ekosistem serta seni budaya tradisional
masyarakat Betawi dengan tidak menghambat perkembangan warganya untuk
meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Suatu hal yang wajar jika Pemerintah
Provinsi dengan melihat segenap potensi ini kemudian mengambil langkah lanjutan
untuk pengelolaan kawasan. Melalui Peraturan Gubernur Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta no.129 Tahun 2007
dibentuklah Lembaga Pengelola Perkampungan Budaya Betawi dengan struktur
organisasi yang dipimpin oleh seorang Ketua dibantu dengan 4 Komite
(masing-masing Komite beranggotakan 3 orang), yaitu:
·
Komite Tata Kehidupan dan Budaya
·
Komite Kesenian & Pemasaran
·
Komite Pengkajian, Pelatihan & Pendidikan
·
Komite Pengawasan & Pengendalian
dengan masa
tugas 4 tahun dan diberikan honorarium yang besarannya ditetapkan dengan
Keputusan Gubernur.
Mereka bekerja mengelola kawasan yang cukup luas tanpa
pegawai. Sedangkan belanja pelaksanaan tugas, fungsi dan kegiatan Lembaga
Pengelola dibiayai dari:
-
APBD (yang dialokasikan pada DPA Dinas)
-
Bantuan atau sumbangan swasta, perorangan dan
masyarakat
b.
Menggapai Mimpi
Pernah ada di suatu
masa, gagasan yang kemudian diwujudkan melalui strategi pembangunan di DKI yang
dilakukan agar masyarakat Betawi dapat berkembang dan maju dengan derap langkah
yang sama dengan masyarakat lain di Indonesia. Salah satunya adalah membina masyarakat
Betawi melalui Pelestarian Budaya.
Sudah barangtentu upaya untuk mempertahankan
dan mengangkat harkat budaya Betawi ke pentas dunia sekalipun adalah upaya yang
baik. Namun sayangnya strategi pembinaan masyarakat Betawi dengan pelestarian
melalui pemukiman di suatu daerah tertentu (Condet, sebagai cagar budaya
Betawi) agaknya kurang tepat. Pelestarian seperti itu – semacam wilayah
konservasi – mengingatkan kita akan wilayah yang kurang lebih sama di Amerika
untuk suku Indian.
Jika dilihat
dari perspektif pembangunan daerah, dengan derasnya laju pembangunan dan modernisasi
membawa dampak tergusurnya sejumlah pemukiman masyarakat Betawi kearah
pinggiran Ibu Kota. Dalam kurun waktu ke depan, cepat atau lambat dapat
dipastikan sulit ditemukan lagi adanya kampung etnik Betawi, baik di Jakarta
ataupun daerah sekitarnya. Begitu pula dengan masyarakat beserta budaya yang
menyertainya, mereka akan tercerabut dari akar kehidupan dan penghidupannya.
Dari sisi
tata kelola pemerintahan, bila pembinaan dan pengelolaan Perkampungan Budaya
Betawi dilakukan dengan pendekatan ekonomis semata (APBD) dan birokratis
seperti sekarang ini, niscaya ia akan kehilangan
ruhnya.
Pertanyaan
yang kemudian muncul adalah, akankah sejarah ini akan terulang kembali dan
masyarakat Betawi beserta budayanya akan menjadi sekadar komoditas ?. Ataukah Perkampungan Budaya Betawi dapat berperan
sebagai “palang pintu” terakhir bagi
eksistensi masyarakat Betawi ?
2. Pokok Masalah
Saat ini modal yang dimiliki PBB khususnya di area Setu Babakan hanya terdiri dari 4 bangunan
berarsitektur betawi, 1 mushola, 1 bangunan untuk pentas seni plus ruang
terbuka yang berdiri diatas lahan seluas kurang lebih 1000 m2. Dua bangunan yang ada merupakan asset
Pemprov DKI Jakarta, sedangkan dua bangunan lainnya disewa dari penduduk asli.
Minimnya biaya pemeliharaan (maintenance
cost) membuat bangunan-bangunan tadi terkesan kusam dan kurang terawat.
Tidak tersedianya sarana perkantoran, ditambah lagi dengan tidak
dimungkinkannya penggunaan pegawai honor, membuat Pengelola pontang panting
dalam mengelola kawasan yang luas ini.
Belum lagi berbicara tentang besarnya honorarium yang diterima Pengelola yang
dibawah UMR.
Kendala lainnya, dalam waktu dekat terdengar selentingan kabar
bahwa arena pentas/panggung teater terbuka oleh pemiliknya akan dijual kepada
pihak ketiga karena pertimbangan ekonomi dengan harga pasar yang bisa jadi
tidak terbeli dengan dana APBD karena terbentur aturan pengadaan barang dan jas
bagi pemerintah.
Kendati arena pentas/panggung teater terbuka hanyalah
merupakan sebagian kecil lahan di Setu Babakan, tetapi itu merupakan enclave yang menjadi denyut nadi
kegiatan berkesenian, yang akan terganggu
bila tidak ditangani dengan baik. Begitu pula halnya dengan masalah
birokrasi perijinan untuk dapat terselenggaranya sebuah pertunjukan seni.
Mencermati kondisi sekarang ini,
secara ringkas dapat dikatakan kendala-kendala yang ada untuk pengembangan
kedepan paling tidak meliputi beberapa aspek, antara lain :
a.
Aspek Legalitas
b.
Aspek Management
c.
Aspek Sumber Daya Manusia
d.
Aspek Keuangan
e.
Aspek Pemasaran
3. Alternatif
Solusi
Dalam mengelolaan PBB – yang
notabene sedikit banyaknya telah menyerap APBD Pemprov DKI Jakarta –
tentunya Pemprov DKI Jakarta tidak akan
membiarkan anggaran yang keluar tanpa kendali. Usulan yang tengah digodok
berupa pembentukan Unit Pelayanan Teknis (UPT) tentunya menjadi pilihan guna
mengendalikan pemakaian anggaran yang dikeluarkan.
Apabila hal ini terwujud,
boleh jadi pengelolaan kawasan Perkampungan Budaya Betawi yang hanya melihat
dari aspek ekonomi semata akan membuat kawasan ini kehilangan ruhnya.
Untuk
menjembatani hal tersebut diatas, kiranya perlu dikaji model pengelolaan PBB
seperti konsep kegiatan seminar dengan menggunakan pola Komisi Organisasi dan Komisi
Pengarah.
Komisi Organisasi merupakan badan yang berfungsi administrative
dan dapat diisi oleh unsur PNS dibawah Pemda DKI yang nantinya berperan sebagai
pengatur anggaran sesuai kebutuhan sistem anggaran di pemerintahan. Sedangkan
Komisi Pengarah adalah badan yang berfungsi sebagai pelaksana dan pengendali
mutu proses pembinaan, pelestarian dan etalase budaya Betawi. Kedua badan ini
merupakan badan yang semua aktifitasnya ditanggung secara finansial oleh
Pemprov DKI Jakarta.
Selanjutnya,
yang perlu diperhatikan adalah bahwa berdasarkan Perda 3/2005 dalam pasal 11
dinyatakan untuk mengelola PBB dibentuk suatu Lembaga yang terdiri dari unsur
masyarakat dan instansi dilingkungan Pemda DKI. Berangkat dari sini, sebagai
pemilik budaya, sudah sepatutnya bila kewenangan pengelolaan Perkampungan
Budaya Betawi diserahkan kepada Lembaga Kebetawian/orang betawi karena
merekalah yang lebih mengerti tentang kebudayaan dan kebutuhan budayanya
sendiri.
4. Konsep
Pengembangan kedepan
Paling tidak,
ada 6 bidang yang bisa digarap dengan sungguh-sungguh.
a. Bidang Lingkungan Hidup
PBB dapat
menjadi alternative bagi Pemprov DKI Jakarta untuk menjadi daerah hijau/Green Life dengan program pengelolaan
sampah, water treatment, pembangkit
listrik dan lain-lain.
b. Bidang Seni &Budaya
- Membuat acara-acara rutin mingguan di teater
panggung terbuka
- Membuat kegiatan tahunan dengan mengangkat tema
kebetawian berupa pameran, bazaar, lomba
seni dan lain sebagainya.
c. Bidang Komersil
- Menyewakan lahan untuk kegiatan outbound, guest house untuk peristirahatan, pesta pernikahan, perpisahan sekolah.
- Meningkatkan potensi wisata budaya, wisata agro
dan wisata air
d. Bidang IT dan Promosi
- Membuat website
tentang Perkampungan Budaya Betawi yang professional, informative dan
edukatif.
- Membangun jaringan internet/WiFi di lingkungan
PBB
e. Bidang Pendidikan dan pelatihan
- Menyelenggarakan kursus-kursus tari, musik,
masak.
- Menyelenggarakan workshop, pelatihan wira usaha kuliner, kerajinan.
f.
Bidang
Penelitian/riset
-
Menjalin kerja sama dengan institusi perguruan
tinggi.
5. Penutup
Sebagai bagian
dari kekayaan budaya bangsa, budaya Betawi jelas harus dipelihara. Konstitusi
Negara yang termaktub didalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 32 ayat (2) secara
jelas mengamanahkan negara untuk wajib memajukan kebudayaan nasional Indonesia
di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara
dan mengembangkan
budayanya.
Dalam skala nasional, hal yang sama juga dilakukan oleh Pemerintah
Daerah kepada kelompok masyarakat yang perlu diprioritaskan di daerahnya
masing-masing. Ada pemerintah daerah yang perlu melakukannya melalui strategi
pembinaan sektor pertanian, pariwisata, kerajinan atau pembangunan proyek
pionir lainnya. Secara singkat dapat dikatakan, tiap kelompok masyarakat dan
daerah membutuhkan perlakuan sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kesanggupan
daerahnya.
Kita punya tokoh-tokoh betawi baik di pemerintahan
maupun disektor kehidupan lainnya, juga punya beberapa lembaga kebetawian. Sekarang masalahnya
adalah, tergugahkah kita sebagai bagian dari masyarakat betawi untuk menjaga,
memelihara dan mengembangkan kekayaan budaya ini, di sini, ditanah leluhurnya sendiri.
Sungguh suatu pertanyaan yang menarik untuk disimak perkembangannya. (Dirangkum dari
berbagai sumber/nf)